Jakarta, CNBC Indonesia- Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium menjadi polemik. Sempat diumumkan akan naik, lalu satu jam kemudian dibatalkan. Bensin Premium memang unik, bahan bakar beroktan RON 88 ini bukan merupakan bensin subsidi sejak Joko Widodo menjabat sebagai presiden ke-7 RI. Beda sewaktu zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bensin satu ini masih masuk barang subsidi. Setiap harga minyak dunia naik akan berdampak ke harga BBM, apalagi Indonesia statusnya net importir. Nah, karena Premium masih subsidi harganya diatur oleh pemerintah, dan saat harga minyak naik pemerintah harus menombok dengan APBN untuk selisih harga jual dan harga pasar.
Misal, harga pasarnya Premium sekitar Rp 6.500 per liter sementara bensin Premium oleh pemerintah ditetapkan hanya boleh dijual Rp 4.000 per liter. Artinya, pemerintah yang menanggung selisih Rp 2.500 per liter bensin tersebut. Makanya pada saat SBY menjabat, subsidi energinya bengkak karena untuk menanggung subsidi BBM jutaan KL. Nah, sewaktu zaman Jokowi subsidi Premium ini dicabut, tapi di awal-awal saja. Awalnya bagus, harga Premium dilepas mengikuti harga pasar. Masyarakat pun sudah terbiasa, terlebih hadir bensin alternatif beroktan 90 yang harganya tak semahal Pertamax tapi kualitas lebih baik ketimbang Premium. Kebijakan yang sudah baik ini, memasuki 2017 mulai berubah. Bensin Premium yak tak subsidi tak boleh dinaikkan harganya. Nah loh, membingungkan. Foto: Infografis/Harga Premium/Edward Ricardo | Artinya, kalau ada perbedaan harga pasar negara tidak mau menanggung tapi dilempar ke badan usaha yakni PT Pertamina (Persero), yang kinerjanya makin ke sini makin tergerus akibat bensin bukan subsidi tapi tak boleh naik harga ini (baca: Premium). Nah, yang jadi pertanyaan terbesar saat ini adalah berapa sebenarnya harga wajar bensin Premium dan berapa besar yang ditanggung Pertamina? Pertamina kemarin menaikkan harga bensin Pertamaxnya, yang tertahan sejak Juli 2018. Sebagai catatan di Juli 2018 harga minyak dunia masih kisaran US$ 74 per barel dan di per Oktober sudah sentuh US$ 83 per barel. Pertamina kemudian memutuskan naikkan harga Pertamax Rp 900 per liter. Premium, harganya tak berubah sejak harga minyak masih di kisaran US$ 50 - US$ 55 per barel sementara sekarang harga emas hitam ini sudah di atas US$ 85 per barel. Setidaknya ada beberapa komponen yang menjadi dasar untuk menentukan harga eceran premium, yaitu harga minyak dunia berdasarkan indeks pasar yang dijadikan sebagai patokan harga dasar premium, pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%, pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) sebesar 5%, dan marjin keuntungan PERTAMINA dan SPBU yang meliputi biaya penugasan, penyediaan, distribusi, margin SPBU serta penyimpanan dalam rentang maksimum 10%. Harga dasar premium (HD) ditentukan dari harga minyak dunia berdasarkan indeks pasar, jumlah barel/liter, dan kurs rupiah terhadap dolar AS. CNBC Indonesia mencoba hitung berdasarkan harga minyak dunia rata-rata (jenis brent) di sepanjang tahun 2018 sebesar $73,16/barel (1 barel= 159 liter), dan dengan kurs rupiah terhadap dolar AS rata-rata sebesar Rp 14.081,73, maka harga premium seharusnya adalah:  HD = (73,16/159) x Rp14.081,73 = Rp 6.479,37 Biaya Pertamina = 10/100 x HD =Rp 647,94 PPN 10% = 10/100 x HD = Rp 647,94 PBBKB 5% = 5/100 x HD = Rp 323,97 Sehingga harga eceran premium adalah HD Biaya Pertamina PPN PBBKB = Rp 8.099,22/liter, atau dibulatkan menjadi Rp 8.100/liter. Dengan harga premium di angka Rp 6.500/liter, tahun ini masyarakat menikmati harga premium yang lebih murah sekitar Rp 1.600/liter. Jadi, sampai kapan Premium mau dikorbankan? (gus) Let's block ads! (Why?) October 11, 2018 at 07:39PM via CNBC Indonesia https://ift.tt/2ytcck9 |
No comments:
Post a Comment