Jakarta, CNN Indonesia -- Kelurahan Boya dan Tanjung Batu, Kecamatan Banawa, dulu pernah jadi kawasan pusat perniagaan dan ikon Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Namun kini riwayatnya tinggal cerita di tengah duka pascagempa dan tsunami pada Jumat (28/9) pukul 18.02 WITA. Pada awal abad 20, pemerintah Belanda membangun gedung-gedung tua di Donggala yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial. Setelah Belanda menguasai Sulawesi Tengah pada tahun 1905, Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia menetapkan perubahan pembagian administrasi di Pulau Sulawesi. Pelabuhan Donggala pun dijadikan pelabuhan niaga dan penumpang terbesar. Bangunannya masih tersisa setelah kemerdekaan Indonesia dan menjadi wisata kota tua. Kepopuleran Pelabuhan Donggala di antara pelaut nusantara dan pelancong mancanegara membuatnya disebut dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Donggala sendiri dulunya disebut sebagai Kota Pelabuhan dan pernah diusulkan menjadi kawasan wisata kuliner.Sayangnya, kini Donggala dan pelabuhannya tak ubahnya seperti kota mati pasca amukan gempa dan tsunami. "Sebelum gempa dan tsunami menerjang, tempat ini sangat ramai, sebab gudang dan ruko juga ada pelabuhan. Namun, sekarang bapak-bapak lihat sendiri, bagaimana ganasnya gempa dan tsunami merobek-robek bangunan hanya dalam beberapa menit saja," cerita Ashar, warga RT 3, Kelurahan Boya, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala yang sempat mengais serpihan-serpihan gedung berarsitektur Belanda di Boya dan Tanjung Batu. Ia pun menceritakan kenangan pahit bagaimana warga di kawasan perniagaan di Kabupaten Donggala itu menghadapi maut ketika gempa berkekuatan 7,4 magnitude menggoyang daerah itu. "Petang itu, kami bersiap-siap melaksanakan shalat Magrib. Namun, tiba-tiba terjadi gempa yang cukup kuat sehingga warga langsung berhamburan keluar rumah. Suasana semakin mencekam saat air laut bergemuruh kemudian menerkam bangunan yang ada di sekitar sini," ucapnya. "Kalau di kawasan ini, Alhamdulillah tidak ada warga yang meninggal, tetapi di Labuan Bajo banyak. Walaupun tidak ada yang meninggal tetapi rumah kami hancur sehingga kami terpaksa mengungsi di kawasan Pekuburan Cina," tutur Ashar.
Suasana di pinggir Pantai Mamboro, Palu Utara, Palu, Sulawesi Tengah pada Kamis (4/10). Kawasan yang merupakan tempat sejumlah gudang, rumah, dan toko berdiri ini terseret ombak tsunami pada Jumat pekan lalu. (Foto: CNN Indonesia/Martahan Sohuturon) | Sementara itu, Ketua RT. 3, RW.5, Kelurahan Boya, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Andi Gopal mengaku tak menyangka bencana datang begitu dahsyatnya. Ia melukiskan betapa ganasnya murka alam sehingga melumat bangunan yang ada di sekitar Pelabuhan Donggala itu."Kami tidak menyangka betapa dahsyatnya gempa dan tsunami yang terjadi saat itu. Cucu saya juga menjadi salah satu korban yang kami temukan meninggal," ujar Andi Gopal. Gempa yang kemudian disusul tsunami menyebabkan hampir seluruh infrastruktur terkoyak di Kabupaten Donggala.Dampak gempa disertai tsunami tersebut, tidak hanya mengoyak kawasan Sulawesi Tengah, tetapi juga berdampak pada rusaknya setidaknya 800 rumah di wilayah Kabupaten Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat. Di sepanjang perjalanan dari Kabupaten Pasangkayu Sulawesi Barat, sejumlah rumah warga terlihat "mencium" tanah akibat diguncang gempa yang tidak lama kemudian disusul tsunami. Namun, kondisi rumah-rumah warga yang berada di sepanjang jalan antarprovinsi itu tidaklah separah di kawasan pesisir khususnya di sekitar Pelabuhan Donggala. Walaupun masih banyak rumah warga yang berdiri kokoh, tiang-tiang listrik yang berada di sisi kanan jalan miring. Itulah sebabnya suplai listrik terputus di Kabupaten Pasangkayu. Para warga yang mengungsi di tempat itu juga terpaksa berdiri di sepanjang jalan poros yang menghubungkan Kota Palu Sulteng dengan Pasangkayu Sulbar untuk meminta bantuan setiap pengendara.
"Kami tidak menjarah atau merampas logistik yang akan dibawa ke Palu. Kami hanya meminta sumbangan karena sudah beberapa hari ini setelah gempa terjadi kami belum mendapatkan bantuan apa-apa padahal setiap hari banyak mobil pengangkut bantuan yang hanya melintas," ujar Wia, warga Kecamatan Benawa Kabupaten Donggala.Tak hanya merusak infrastruktur kota dan menghambat logistik lebih parah dibandingkan dampak Gempa Lombok, gempa dan tsunami Palu juga telah meninggalkan trauma bagi warga pesisir. "Rumah saya tidak terlalu parah tetapi kami sangat trauma dan tidak berani tinggal di rumah karena gempa susulan masih terus terjadi. Kami membangun tenda di samping rumah karena takut bermalam di rumah. Kami hanya mengandalkan pemberian dari relawan yang melintas karena stok kebutuhan sudah sangat terbatas. Yang paling penting kami butuhkan adalah air bersih, pakaian, perlengkapan bayi dan air minum," tambah Wia. Saat ini, duka yang dialami warga Sulawesi Tengah telah membuat jutaan orang terenyuh. Mereka tak hanya mengirim kata-kata simpati tetapi langsung menyumbangkan berbagai daya dan upaya, termasuk datang langsung ke lokasi bencana untuk membantu para korban. Kapolri Jenderal Tito Karnavian optimis warga Sulteng dapat bangkit dari duka yang menggelayut pasca gempa dan tsunami memporak-porandakan kawasan itu. Dalam proses bangkit dari bencana itu, secuil senyum keceriaan anak-anak korban gempa yang berada di pengungsian menjadi pengobat lara di tengah duka yang masih menyelimuti orang tua dan kerabat mereka. (kst/lav) Let's block ads! (Why?) October 08, 2018 at 12:51AM via CNN Indonesia https://ift.tt/2ylGLIl |
No comments:
Post a Comment