Nusa Dua, CNBC Indonesia - Pasokan dan permintaan valuta asing menjadi salah satu indikator yang membentuk pergerakan nilai tukar rupiah. Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang makin tinggi, tentu saja situasi tersebut menjadi tantangan bagi Bank Indonesia (BI). Hal tersebut dikemukakan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo di sela-sela rangkaian Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional - Bank Dunia (Annual Meeting IMF - World Bank) 2018 di Nusa Dua, Bali. "Apakah permintaan valas masih tetap besar? Ya, mungkin. Tapi pertanyaan berikutnya adalah apakah suplai valas akan terbatas? Ini akan menentukan bagaimana rupiah akan terbentuk," kata Dody.
"Kalau tetap demand valasnya besar sekarang, tidak ada salah, pasti rupiah akan selalu terdepresiasi," jelas bank sentral. Beberapa upaya, pun sudah dilakukan pemerintah maupun bank sentral untuk mengatasi permasalahan tersebut. Misalnya, dari sisi pemerintah adalah mandatory penggunaan B20 maupun pembatasan sejumlah barang impor konsumsi.
Sementara itu, BI pun sudah mengerek bunga acuan sebesar 150 basis poin (bps) yang salah satunya bertujuan untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. BI merasa, bunga acuan Indonesia cukup kompetitif dibandingkan negara lain. Benarkah demikian? Menurut Dody, persepsi tersebut sudah ditunjukkan dari kalangan investor yang ditemui bank sentral dalam Annual Meetings. Mereka merasa, Indonesia masih cukup menarik dari negara-negara lain. "Saya selama satu minggu ini banyak melakukan pertemuan dengan investor, dengan lembaga rating semua melihat memang Indonesia masih cukup menarik," tegasnya. Lantas, bagaiman a dampaknya terhadap nilai tukar? Dody mengatakan, pergerakan nilai tukar akan tetap bergantung pada aliran modal asing ke pasar keuangan domestik. Apabila memang tingkat kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia semakin baik, bukan tidak mungkin aliran modal akan singgah ke Indonesia. Ini bisa menjadi pendorong bagi rupiah menguat, bahkan di bawah level Rp 15.000/US$. "Kalau dorongan penguatan besar, bisa saja terjadi [kembali ke level Rp 15.000/US$]. Tinggal kita lihat differentialnya. Itu sangat menarik untuk masuk khususnya dari sisi portofolio," jelasnya. "Kalau itu kembali besar, saya rasa ke arah penguatan akan bisa terjadi," ungkap Dody. Sebagai informasi, dalam sepekan terakhir nilai tukar rupiah telah terdepresiasi hingga 0,16% dan ditutup pada level Rp 15.200/US$. Bahkan, rupiah sempat menembus level terendah sejak krisis moneter 1998 yakni Rp 15.250/US$ (hps) Let's block ads! (Why?) October 14, 2018 at 02:55AM via CNBC Indonesia https://ift.tt/2IVpfzG |
No comments:
Post a Comment